Buku ini mengulas perjalanan sistem pemilu di Indonesia sejak pertama digelar pada tahun 1955 hingga 2019. Fokus ulasannya kepada sistem pemilu legislatif, antara proporsional terbuka atau tertutup. Penulis menganggap inilah titik krusial setiap perhelatan pemilu legislatif.
Menggunakan metode penelitian sosio legal, pembahasan diperkuat dengan UU Pemilu di setiap pemilu, 6 Putusan Mahkamah Konstitusi tentang pemilu, dan wawancara dengan perwakilan fraksi-fraksi di DPR. Buku ini juga menganalisis kasus suap Komisioner KPU Wahyu Setiawan sebagai implikasi sistem proporional terbuka yang kacau.
Hasil analisis buku setebal 190 ini menunjukkan bahwa sistem proporsional dalam pemilu 1955 yang paling ideal. Penulis juga merumuskan bagaimana idealnya sistem pemilu legislatif jika disandingkan dengan pemilu serentak. Penyempurnaan ini meliputi; ambang batas parlemen 5-7 persen, multi partai sederhana, proporsional tertutup, demokrasi yang bertanggung jawab, dan koalisi parpol bersama capres-cawapres tidak bubar pascapemilu. Ada pengingkaran kedaulatan rakyat dan pelanggaran unsur etika-moral dalam teori pluralisme hukum, jika pascapemilu koalisi gagasan bubar menjadi koalisi kekuasaan.
Seluruh rumusan ideal sistem pemilu itu lebih tepat “direkonstruksi” melalui jalur constitusional review di Mahkamah Konstitusi, bukan jalur politik hukum. Alasannya, MK terbukti efektif merekonstruksi hukum pemilu dan juga sistem pemilu. Ini terlihat dari dua putusannya di bidang pembaharuan pemilu, Pertama, putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 yang membentuk norma pemilu serentak mulai tahun 2019. Kedua, putusan Nomor 22-24/PUU-VII/2008 yang mengubah penetuan kursi dari nomor urut saat pemilu 2004 menjadi peraih suara terbanyak sejak pemilu 2009.
Seluruh pembahasan dikaji dengan teori Pluralisme Hukum. Mengapa Pluralisme Hukum? Karena teori ini mampu mengubah paradigma berpikir yang pragmatis dan parsial (dalam pembentukan sistem pemilu), menjadi paradigma yang pluralistik dan holistik (untuk mengevaluasi sistem pemilu). Penulis mengulas lengkap bagaimana teori ini bekerja, sekaligus karakteristiknya dalam filsafat hukum.
Begawan hukum Satjipto Rahardjo pernah berujar bahwa teori pluralisme hukum efektif menyelaraskan unsur non hukum (moral, etika, agama, dan kemasyarakatan) agar kekuasaan negara, termasuk pembentukan pemerintahan melalui pemilu berjalan sesuai koridor Pancasila. Teori pluralisme hukum beraliran progresif. Sifanya sebagai pemandu sekaligus pendobrak, agar apa yang diatur hukum memberi manfaat (bukan sekedar kehendak penguasa). Melalui teori ini, ulasan dan perbandingan setiap pemilu dianalisis dengan komparasi historis yang progresif.
Sebagai penutup, buku ini diapresiasi oleh Ahmad Ali selaku Waketum Partai Nasdem sekaligus Ketua Fraksi Nasdem DPR RI, Ahmad Basarah selaku Wakil Ketua MPR RI sekaligus Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR RI, Prof Widodo Ekatjahjana selaku Dirjen Peraturan Perundang-undangan dan Prof Yos Johan Utama sekalu Rektor Universitas Diponegoro.
Kata Mereka Tentang Buku Ini:
Implikasi sistem proporsional terbuka dengan pemilu serentak mengharuskan koalisi parpol terbentuk sejak awal. Namun, koalisi parpol bersama Capres-Cawapres yang terikat dengan gagasan dan platform gerakan, pada akhirnya bubar menjadi koalisi kekuasaan. Ini bentuk pengingkaran terhadap legitimasi rakyat. Sebagai penulis, Nizar mampu “menggugat” sekaligus memperbaikinya dengan teori Pluralisme Hukum.
Ahmad Ali, SE
- Ketua Fraksi NasDem DPR RI, Wakil Ketua Umum DPP Partai NasDem
Teori Pluralisme Hukum berfungsi sebagai pemandu agar hukum dan efek-efek yang dikehendakinya sesuai dengan Pancasila. Buku ini menyajikan gagasan konstruktif dan progresif dengan ulasan historis untuk menyempurnakan sistem Pemilu. Hasilnya, sistem proporsional dalam pemilu 1955 yang paling ideal. Penulis juga mengekstraksikan kelebihan setiap sistem Pemilu agar selaras dengan Pemilu Serentak.
Dr. Ahmad Basarah
- Wakil Ketua MPR RI, Ketua DPP PDI Perjuangan
Secara akademis, saya mengenal Nizar sejak Mahasiswa di FH Unej tahun 2007. Saya tahu pemikirannya selalu berada dalam ruang dialektika yang kritis, responsif dan cerdas dalam mengartikulasikan berbagai isu dan fenomena hukum. Buku ini adalah wujud konsistensi pemikirannya, bahwa metajuridis dalam teori Pluralisme Hukum dapat menganalisis kekurangan dan kelebihan sistem pemilu legislatif di Indonesia, sejak tahun 1955 hingga 2019.
Prof. Widodo Ekatjahjana
- Guru Besar FH Unej, Dirjen PP Kemenkumham
Prof Satjipto Rahardjo pernah berkata bahwa teori Pluralisme Hukum menguatkan sekaligus mencerminkan karakteristik Teori Hukum Progresif yang dicetuskannya. Saya menyambut baik gagasan yang ditulis Nizar - Mahasiswa saya di Program Pascasarjana Ilmu Hukum Undip. Ulasannya bagus, tajam dan mendalam dengan komparasi historis.
Prof. Yos Johan Utama
- Guru Besar FH Undip, Rektor Universitas Diponegoro