Rabu, 18 Februari 2015
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – “Apakah gerakan separatisme melanggar hak asasi manusia?” Pertanyaan tersebut selalu muncul dalam benak Laksda (Purn) Soleman B. Ponto berkenaan dengan Gerakan Separatisme di Papua yang dibentuk pada 1965, yang menimbulkan guncangan internal di tubuh bangsa Indonesia. Dalam pandangannya, gerakan separatisme Papua ini kerap dimusuhi oleh negara.
“Negara mengirim terus menerus TNI untuk Papua,” kata Ponto, penulis buku Jangan Lepas Papua: Mencermati Pelaksanaan Operasi Militer di Papua Sebuah Kajian Hukum Humaniter dan Hukum HAM di Kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhary, Jakarta, Selasa (17/2) siang.
Jika melihat persoalan hak asasi manusia, dalam definisinya hak tersebut merupakan hak fundamental yang harus dilindungi oleh internasional.
“Berdasarkan kewenangan ham internasional, hak untuk menentukan nasib sendiri bisa dicapai masyarakat. Dari HAM, ada hak untuk menentukan nasib sendiri. Gerakan separatisme juga masuk dalam kategori hak asasi manusia atau HAM,” ujar dia.
Semenjak melancarkan gerakan separatisme pada 1965, sampai saat ini persoalan konflik di Papua terus menerus terjadi.
Ditinjau dari hukum internasional, untuk mengatasi kelompok bersenjata di Papua selayaknya tidak dilakukan dengan mengirimkan pasukan TNI.
“Akan tetapi, sangat disayangkan, berbekal Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI, mereka melegimitasi dirinya untuk mengirimkan pasukannya ke sana,” kata dia.
Pengiriman tentara tersebut dinilai bertentangan dengan hukum internasional dan efeknya menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua.
Masalah pelanggaran inilah yang belakangan menjadi sorotan. Setiap kali terjadi kontak bersenjata antara kelompok-kelompok bersenjata di Papua dan pasukan TNI, dunia segera menjeratnya dengan pasal-pasal HAM. Pasal-pasal pelanggaran HAM ini hanya diterapkan untuk tentara yang terlibat dalam konflik tersebut, tetapi tidak untuk anggota kelompok bersenjata yang terlibat.
Selanjutnya Ponto menjelaskan jika negara melakukan pelanggaran HAM, Papua justru bisa lepas dari NKRI. Berbagai contoh fenomena di luar negeri dijadikan referensi penguatan terhadap argumentasinya.
Sumber Artikel : Satuharapan.com
FeedBack