Selasa, 06 April 2021
(Mengenang Farid Husain)
Oleh: Eben Ezer Siadari–Salim Shahab
Editor Rayyana Publishing
Berita berpulangnya Farid Husain (FH) terasa mengejutkan. Umur beliau 9 Maret lalu, genap 71 tahun. Ia dapat dikategorikan lansia. Namun berita kepergian salah seorang putra terbaik Sulawesi Selatan itu tetap terasa terlalu cepat. Bukan saja karena pembawaannya yang energik, optimistis dan penuh semangat. Tetapi yang terutama adalah karena peran dan pikiran-pikirannya sebagai salah seorang tokoh yang berkiprah di pentas nasional masih dibutuhkan.
Sampai akhir hidupnya, FH masih aktif sebagai salah seorang ketua bidang Pengurus Pusat Palang Merah Indonesia (PMI). Sebagai dokter, ia turut mewarnai kebijakan di bidang kesehatan nasional ketika ia menjadi Direktur Jenderal Bina Medis Kemenkes (2005-2010). Namanya juga dikenal di Ikatan Dokter Indonesia (ia pernah menjadi Ketua IDI Sulawesi Selatan) dan sekaligus Ketua Persi (Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia) Cabang Sulawesi Selatan. Sebagai akademisi sekaligus alumni Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, namanya popular. Ia pernah menjadi ketua harian Ikatan Alumni Unhas (2006-2016) dan dosen teladan FK Unhas (1986). Bahkan walaupun belum bergelar Profesor – karena Ia selalu menolak menyandang gelar itu- Ia akrab dipanggil Prof. Walaupun panggilan sebagai bapak Ai – Panggilan kecilnya – tak kalah populer.
Ketokohan beliau yang paling menonjol adalah sebagai aktivis dan tokoh perdamaian, yang berperan penting dalam menemukan solusi dalam berbagai konflik di Tanah Air dan dunia internasional. Sebagai salah satu orang kepercayaan Jusuf Kalla (baik sebagai Menko Kesra pada pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri maupun sebagai Wapres di pada pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono), FH terlibat langsung dalam penanganan konflik di Poso, Ambon, Aceh dan Papua, bahkan juga sempat menjajaki dialog penyelesaian konflik di Thailand dan Afganistan.
FH merupakan Delegasi Indonesia dalam perundingan dengan GAM yang menghasilkan Kesepakatan Helsinki pada tahun 2005). Namun, perannya di belakang meja perundingan dalam negosiasi itu sesungguhnya hanya sebagian kecil dari kiprahnya dalam turut mengakhiri konflik di Aceh. Jauh sebelum para perunding duduk berhadap-hadapan, FH telah pergi ke hutan-hutan di Aceh menemui tokoh-tokoh GAM, terbang ke Swedia menemui Hasan di Tiro dan bahkan ia merupakan pejabat Indonesia pertama yang menemui Martti Ahtisaari, mediator perundingan Indonesia-GAM yang di kemudian hari memperoleh hadian Nobel Perdamaian. Dalam beberapa kesempatan Ia berjalan sendiri, tak jarang bersama koleganya; Juha Christensen, Orang Finlandia yang pernah hidup di Sulawesi Selatan pada awal tahun 80-an.
Supel Tak Berjarak
Berpembawaan supel dan tidak terlalu suka pada formalitas, FH dapat menempatkan dirinya sebagai pemecah kebekuan dalam situasi yang bagaimana pun. Penerima Bintang Jasa Utama dari Pemerintah RI (2010) ini bisa masuk ke semua golongan dan tingkatan. Itu merupakan salah satu faktor kunci –seperti diakuinya dalam buku To See the Unseen —yang menyebabkan pihak-pihak yang berkonflik dapat menerima kehadirannya sebagai bagian dari penengah, dan kemudian menemukan solusi. Pembawaannya yang supel itu membuatnya tidak memiliki musuh.
Oleh pengalaman di masa kecil, FH merupakan sosok yang sangat peka terhadap ketidakadilan. Dalam berbagai percakapan, ia sering berkisah tentang bagaimana di peristiwa-peristiwa tertentu ia kerap berbuat nekad karena menyaksikan adanya kesewenang-wenangan terhadap pihak yang lemah. Barangkali juga diasah oleh solidaritas dan spiritnya semasa jadi aktivis pelajar dan mahasiswa.
Solutif
Informalitas dan ketajaman untuk melihat solusi out of the box adalah kekuatannya yang lain. FH sangat menghindari formalitas, jika ia dapat mewujudkan misinya lewat cara-cara informal. FH akan menempuh berbagai cara –sebagian besar dengan cara informal – untuk menemui tokoh-tokoh kunci pihak yang bertikai. Ia tidak akan berhenti sebelum menemukan gambaran solusi yang dapat dicapai.
Di balik perawakannya yang tinggi besar dan gagah, FH berhati lembut dan memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi. Ia tidak percaya bahwa konflik dapat diselesaikan dengan senjata dan kekerasan. Ia berkata, seandainya konflik dapat diselesaikan dengan senjata, solusinya sangat gampang. Berikan saja senjata sebanyak mungkin kepada pihak-pihak yang bertikai.
Sebaliknya, FH adalah orang yang percaya pada dialog. Dialog, menurut dia, adalah jalan paling mungkin untuk menemukan solusi perdamaian. Dialog adalah faktor mutlak bagi FH. Sebaliknya, ia akan sangat mengkhawatirkan bila pintu dialog dinyatakan telah tertutup. Ia pernah berkata, bahkan seandainya pun sebuah konflik sudah mengarah pada perang dunia, selama pihak-pihak yang bertikai masih membuka kemungkinan untuk dialog, kita masih memiliki harapan perdamaian.
FH memiliki keyakinan bahwa nilai manusia adalah martabatnya. Manusia akan merasa terhormat apabila martabatnya dihormati. Sebaliknya konflik dapat memanas bila ada pihak yang melukai martabat pihak lain.
FH percaya bahwa penyelesaian konflik harus ditempuh dengan cara-cara yang bermartabat. Konflik tidak mereda bila solusi yang ditawarkan menyebabkan salah satu pihak kehilangan muka. Konflik tidak mengenal solusi win-lose. FH percaya bahwa konflik apa pun dan dimana pun, hanya dapat diselesaikan apabila kedua belah pihak tidak merasa ada yang dirugikan, apalagi dikalahkan.
Kini FH telah tiada. Kepergiannya merupakan kehilangan yang besar akan seorang sosok yang telah dan terus mengabdikan dirinya pada terciptanya perdamaian mengatasi konflik. Jejaknya akan diingat. Upaya-upaya yang dilakukannya demi perdamaian akan dikenang sebagai bagian dari sejarah. Pengalaman, gagasan dan harapan-harapannya, akan menjadi bahan pelajaran berharga bagi mereka yang ingin meneruskan upaya-upaya resolusi konflik. Di usia 71 tahun, 14 hari, FH meninggalkan kita. Selamat jalan Pak Farid! (*)
Sumber Artikel : fajar.co.id
FeedBack